Sunday, January 7, 2018

Di Balik Awan

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 1 January 2018


Kehidupan memang tidak ada yang tahu apa akhirnya. Terkadang kita berada di atas kadang juga di bawah. Namun kehidupan benar-benar mengajarkan kita tentang segala hal, agar kita tahu dan akhirnya kita mengerti.
Hanya satu kejadian, atau satu pikiran, atau bahkan hanya satu ucapan saja bisa mengubah segalanya. Semua orang tahu itu, tapi tidak banyak orang yang mengerti tentang hal itu.
Rayhan, seorang bocah kecil yang selalu mencoba mencari tahu tentang apa arti suatu peristiwa dalam kehidupannya. Mungkin saja suatu hari nanti ia bisa mengubah status keluarganya sebagai keluarga yang miskin menjadi keluarga yang kaya.
Namun itu semua tidak mudah bagi Rayhan. Tidak semua orang yang ia tanyai tentang suatu masalah mau menjelaskannya pada Rayhan. Tapi, Rayhan adalah seorang bocah yang pantang menyerah. Jadi, ia tak pernah marah pada siapa pun itu, termasuk ayahnya yang tidak pernah mau memberi pengertian tentang suatu masalah kepada anaknya itu.
“Nak, tolong nanti siang kamu bawakan bekal Bapak ke Ladang, ya! Bapak sudah kesiangan, Ibumu juga belum selesai masak. Nanti kamu juga bantu Bapak membersihkan ladang!” Perintah Ayah Rayhan.
“Baik, Pak. Semoga nanti di sekolah tidak ada PR!” Jawab Rayhan.
Pagi mulai menjelang siang. Rayhan yang baru pulang sekolah segera makan siang dengan lauk seadanya. Keluarganya hanya bisa makan sayur setiap hari, seakan seperti vegetarian saja yang tidak pernah makan daging. Sudah bisa dipastikan, itu karena keluarga Rayhan adalah keluarga yang tidak mampu. Makan ikan sungai saja sangat jarang karena harus bekerja.
Dengan cepat Rayhan mencuci piringnya lalu membuka tas usang miliknya. Diulurkan tangannya itu ke dalam tas usang miliknya lalu segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah buku yang juga usang, robek di bagian pinggir-pinggirnya, dan beberapa halaman sudah tidak menempel lagi dengan buku itu.
Rayhan mencoba menyelesaikan PR-nya secepat mungkin. Hari sudah semakin siang, sebentar lagi ia harus mengantarkan bekal kepada sang Ayah. Namun ia juga harus menyelesaikan PR-nya saat itu juga. Karena hanya siang harilah ada waktu luang baginya.
“Ray, ini bekal Ayahmu. Cepat kamu antar! Nanti Ayahmu kelaparan.” Perintah Ibu Rayhan.
“Sebentar Bu, PR Rayhan belum selesai, kurang sedikit!” Jawab Rayhan.
“Cepat, Nak! Sekarang sudah Dhuhur, Ayahmu akan istirahat sebentar lagi!”
“Nanti Rayhan akan berlari saat mengantar bekal kok, Bu. PR-nya juga sudah hampir selesai, tidak akan terlambat.” Ujar Rayhan.
“Janji ya, awas nanti kalau sampai Bapakmu mengeluh!” Ancam Ibu Rayhan dengan lembut.
Tak lama kemudian, Rayhan telah menyelesaikan seluruh PR-nya. Disambarnya kotak makanan Bapaknya, lalu segera berlari menuju ladang yang tak jauh dari gubuk tempatnya tinggal itu.
“Kamu dari mana saja? Bapak sudah menunggu dari tadi. Tapi kamu baru mengantar sekarang?” Kata Bapak Rayhan dengan nada sedikit tinggi.
“Maaf Pak, tadi ada PR banyak sekali!” Jawab Rayhan.
“PR? Kan sudah Bapak bilang, kamu tidak perlu sekolah lagi, kamu kan sudah 9 tahun! Lebih baik kamu membantu Bapak bekerja di ladang, dapat uang! Toh nanti ujung-ujungnya kita bisa hidup kaya. Tidak perlu susah bekerjanya.” Desah Bapak Rayhan.
“Tapi Pak, kalau Rayhan tidak sekolah nanti Rayhan tidak akan bisa apa-apa!”
“Sekolah? sekolah itu memerlukan biaya, tapi kita tidak diberi apa-apa! Malah dibebani dengan ini, dengan itu! Lebih baik cari uang, ditabung, hidup tidak lagi susah!”
“Bukannya kalau kita tidak sekolah maka kita akan miskin, tidak bisa apa-apa, dan kita akan terkucilkan? Begitu yang dikatakan para Guru di sekolah, Pak.”
“Memangnya hanya dengan sekolah kita bisa tiba-tiba kaya? Tidak kan? Itu percuma saja! Sekolah hanya bisa membuat kita miskin! Sudahlah, Bapak sudah lapar, kamu itu ada-ada saja!” Kata Bapak Rayhan yang kemudian langsung memakan bekal yang telah dibungkus untuknya.
Rayhan memandang ke sekitarnya. Banyak sekali sejenis tanaman yang terhampar luas di lading tersebut. Tanaman apa itu? Itulah pertanyaan yang ada di benak Rayhan. Memang aneh, sebuah ladang yang benar-benar luas hanya menanam satu jenis tanaman saja. Tapi, tanaman itu terlihat indah.
“Ada apa?” Tanya Bapak Rayhan disela-sela makannya.
“Pak, ini semua itu tanaman apa? Kok ladang seluas ini hanya ditanami jenis tanaman itu saja?”
“Bapak juga tidak tahu. Sejak beberapa tahun yang lalu, Bapak hanya disuruh menanam tanaman ini sama Juragan. Yang penting Bapak dapat uang, dapat penghasilan. Gaji menanam tanaman ini memang dua kali lipat lebih besar daripada tanaman lainnya.”
“Apa Bapak tidak pernah menanyakan apa jenis tanaman ini dengan Juragan? Sudah beberapa tahun menanam tanaman ini kok tidak tahu apa namanya!”
“Kebetulan kata Juragan nanti ia akan memberi Bapak satu jenis bibit tanaman lagi, yang akan Bapak tanam di sebelah sana. Nanti akan Bapak tanyakan. Sekarang, ayo bantu Bapak membersihkan ladang!”
Mereka pun membersihkan ladang bersama. Sebenarnya tidak seluruh ladang, tapi hanya sepetak ladang yang biasa digunakan Bapak Rayhan untuk beristirahat setelah mengurus tanaman-tanaman itu di ladang.
Hari sudah semakin sore. Sudah waktunya bagi mereka untuk segera kembali ke rumah. Mereka berjalan bersama dengan peluh di wajah. Rasa pegal benar-benar menyelimuti kala itu. Karena saat mereka pulang, mereka tidak sempat untuk duduk meski hanya beberapa saat saja.
Keesokan harinya adalah hari libur. Jadi Rayhan tidak berangkat sekolah. Tetapi hari ini adalah hari bekerjanya. Setiap sebulan sekali, Bapak Rayhan akan memberi Rayhan suatu bungkusan yang agak besar untuk diberikan kepada Juragan.
Tapi kali ini, bungkusan itu siap sudah agak siang. Rayhan jadi terlambat untuk mengantar. Namun ia tidak mau tergesa-gesa. Karena itu mungkin akan merugikan dirinya sendiri. Bisa juga bungkusan itu jatuh, rusak, atau hilang.
“Nak, cepat berikan ini kepada Juragan! Bilang pada Juragan, maaf karena terlambat mengantar barangnya!” Kata Bapak Rayhan.
“Iya, Pak…”
“Ingat juga ya, kalau ada di jembatan merah…”
“Ingat Bu, Rayhan sampai hapal Ibu mau berbicara apa!” Sahut Rayhan.
Rayhan langsung berlari setelah mengatakan itu. Namun, di tengah perjalanan Rayhan langsung menghentikan laju larinya dan mulai berjalan biasa saja. Bukan karena rasa lelah yang mulai menghantui dirinya, namun karena bungkusan itu hampir saja jatuh tadi.
Dari jauh, tampak jembatan gantung merah berdiri kokoh di antara bibir sungai. Namun di atasnya ada sekumpulan awan yang tampak tegas ingin melaksanakan niatnya. Sebuah awan hitam yang benar-benar hitam pekat, yang tak lama kemudian ada petir yang menyambar mulai menyusul.
Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya yang tak memberi kesempatan bagi Rayhan untuk berteduh. Bungkusan barang itu mulai basah. Sontak Rayhan langsung berlari mendekati sebuah gubuk kecil yang tak jauh dari jembatan gantung merah.
Hujan benar-benar terlihat tidak mau mereda. Sudah beberapa jam tapi hujan tidak mau berhenti. Rayhan mulai bosan, akankah dia bisa kembali pulang sebelum matahari terbenam.
Di dekat gubuk ada seorang lelaki bertubuh kekar yang kehujanan terlihat mendekati gubuk yang juga ingin berteduh. Mereka duduk berdampingan. Lelaki itu langsung memulai percakapan saat ia duduk.
“Mau diberikan kepada Juragan, ya?” Kata lelaki itu.
“Memangnya ada apa? Apa aku mengenalmu?” Tanya Rayhan.
“Tidak perlu mengenalku. Aku adalah orang suruhan Juragan. Karena kau terlambat mengantar, maka dia menyuruhku untuk mengambil barang ini darimu agar lebih cepat sampai. Jadi, berikan saja padaku dan akan kuberikan pada Juragan. Bilang pada orangtuamu kalau barangnya sudah dikirim!”
“Baik, tapi apa kau benar-benar orang suruhan Juragan?”
“Menurutmu bagaimana?”
“Ya, baiklah, terima kasih!”
Setelah Rayhan berterima kasih, orang itu langsung beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi. Rayhan yang sudah terlanjur basah kuyup langsung saja pulang, karena meskipun masih badai dengan angin yang bertiup cukup kencang, tapi sudah tidak ada lagi barang yang akan diantar.
Beberapa bulan kemudian, tugas Bapak Rayhan benar-benar banyak. Sehingga harus menyuruh putranya untuk mengantar barang lagi. Hujan rintik-rintik yang dihiasi dengan sebuah pelangi kembar yang benar-benar indah menemani Rayhan untuk mengantar barang itu.
Barang itu sudah dibungkus dengan beberapa lapis plastik. Sehingga Rayhan tidak perlu berlarian untuk mengantarnya. Ia malah terlihat asyik dan menikmati hujan yang kian membasahi wajahnya.
Namun, sebuah hal tak terduga terjadi. Jembatan gantung merah putus, yang membuat siapa pun yang ingin menyeberang harus menyeberangi aliran sungai yang beraliran deras. Rayhan terkejut. Ia hanya menunggu saja, apabila ada orang juga yang mau menyeberang.
“Mengantar barang lagi ya? Untung saja aku di sini, jadi kamu tidak perlu susah payah untuk mengantar barang ke rumah Juragan. Biar aku saja yang bawa, seperti beberapa bulan yang lalu!” Kata orang yang dulu mengaku sebagai orang suruhan Juragan.
“Tapi…”
“Tidak apa-apa. Kebetulan aku juga mau ke rumah Juragan. Nanti akan kusampaikan mengapa kamu tidak bisa datang sendiri.”
“Terima kasih, tapi jangan sampai barangnya rusak ya!”
“Tentu saja…”
Setelah melihat orang itu menyeberangi sungai, Rayhan bergegas pulang. Ia sangat lega karena tidak harus menyeberangi sungai mengerikan itu. Karena apabila seseorang yang tidak bisa berenang menyeberangi sungai itu tanpa perahu, biasanya orang itu akan hanyut dan akhirnya meninggal.
“Bagaimana nak, sudah kamu antar? Kok lebih cepat dari biasanya?” Tanya Ibu Rayhan.
“Sudah Bu. Tapi tadi, jembatan gantung merah runtuh. Apa yang menyebabkan jembatan itu runtuh ya, Bu?”
“Tidak tahu, mungkin karena kemarin habis hujan lebat, atau mungkin juga sudah tua.”
“Begitu ya Bu? Lalu, sudah dua kali ini ada orang yang membantuku mengirim barang ke rumah Juragan Bu, mengapa orang itu mau membantuku?”
“Apa kau dulu pernah membantunya?”
“Tidak! Aku saja tidak mengenalnya…”
“Mungkin karena dia baik dan, Bapak sudah pulang?” Tanya Ibu Rayhan saat melihat suaminya baru pulang dari ladang.
“Buatkan Bapak teh, Bu!” Kata Bapak Rayhan.
Tak lama kemudian, Juragan datang ke rumah keluarga Rayhan. Mereka benar-benar terkejut. Tidak biasanya Juragan berkunjung ke rumah mereka. Biasanya dia menyuruh orang bila ingin member tahu sesuatu.
“Parjo, aku sudah tidak peduli lagi dengan ladangku saat ini. Tolong kau jaga saja ladang itu, mungkin suatu hari aku akan kembali!” Kata Juragan.
“Maksud dari Juragan itu apa?” Jawab Bapak Rayhan.
“Begini, aku akan pergi ke luar kota. Dan kau tidak perlu mengirim barang lagi sekarang. Lebih baik kau kirim sendiri barang yang akan kau kirim, tidak usah menyuruh anakmu bila aku sudah kembali! Tapi jangan katakan pada siapa pun kalau aku pergi! Paham?”
“Paham Juragan”
Juragan langsung pergi dari rumah keluarga Rayhan menggunakan mobil pribadinya yang mewah.
Tak lebih dari semenit, ada beberapa orang yang juga menggunakan mobil datang ke rumah keluarga Rayhan.
“Bapak Parjo?” Kata seseorang dari mereka.
“Ada apa, ya? Kalian Polisi kan?”
“Apa ladang yang ada di dekat rumah ini adalah milikmu?”
Karena Juragan telah menitipkan ladang itu, maka Bapak Rayhan mengatakan,
“Betul, Pak. Ada apa ya?”
“Bapak kami tangkap, karena telah menanam dan membudidayakan g*nja dan k*kain. Sekarang, Bapak harus ikut kami ke kantor polisi!”
Para Polisi langsung memborgol tangan Bapak Rayhan. Ibu Rayhan dan Rayhan sendiri juga benar-benar terkejut dibuatnya. Mereka semua tidak mengerti kalau tanaman yan ada di ladang itu adalah g*nja dan k*kain.
“Tapi Pak, kami tidak mengerti kalau itu semua adalah g*nja dan k*kain!” Sanggah Bapak Rayhan.
“Jelaskan semuanya di kantor polisi. Kalian juga telah menjerumuskan seorang kaya raya untuk mengkonsumsi g*nja dan k*kain, yaitu Juragan.”
Akhirnya mereka mengerti kalau Juragan telah menipu mereka semua. Namun, nasi telah menjadi bubur. Juragan telah melarikan diri. Semua hukuman hanya diberatkan kepada Bapak Rayhan. Karena semua bukti mengarah padanya.
Namun pada saat itu juga ada salah satu anak buah Juragan lainnya. Dia mengatakan kalau ini semua adalah perbuatan Juragan, dari yang memperkerjakan beberapa orang untuk mengolah ladang, serta tanaman-tanaman terlarang tersebut.
Tapi bukankah Juragan telah melarikan diri dengan tidak meninggalkan jejak sedikit pun? Jadi, siapakah yang bersalah sekarang? Para Polisi tersebut telah siap untuk menahan Bapak Rayhan. Karena semua bukti telah mengarah padanya. Jadi, siapa yang harus bertanggung jawab?
Cerpen Karangan: Dikta Sumar Hidayah
Sumber:http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/di-balik-awan-2.html

Adventure

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Misteri, Cerpen Petualangan
Lolos moderasi pada: 11 November 2017


“Apa kalian sudah siap?” tanya Sam pada keempat sahabatnya sembari menutup tas ranselnya.
“Tentu saja” sahut Rico yang masih sibuk dengan bekal makanannya. Mereka berlima akan berburu sebuah misteri, entah mimpi apa yang didapat Louis sehingga ia sangat bersikukuh mengajak rekannya untuk berpetualang ke Red Mountain, tempat yang belum pernah dijamah oleh seorangpun. “Baiklah, sementara ini tujuan kita yaitu mendaki, jangankan mencari misteri, tujuan kita pergi ini pun masih misteri” ucap Marsya, gadis cantik yang sangat pintar mendeteksi tempat tempat yang sangat aneh.
Sam, Louis, Rico, Susan, dan Marsya telah memasuki hutan menuju gunung merah. “Marsya, Awassss!!!” Louis sangat kaget melihat burung hitam yang melesat melintasi hampir di atas kepala Marsya. Keempatnya sangat terkejut, kedatangan mereka telah disambut dengan burung hitam tersebut.
Jalan demi jalan mereka lalui, Setibanya di pinggir anak sungai, Marsya menemukan jejak kereta yang nampaknya itu adalah jejak roda kereta tua, Marsya mencoba membuka kembali ingatannya dimana ia pernah melihat roda yang persis seperti jejak yang ia temukannya “Apa yang kau lihat” selidik Susan pada Marsya. “Ini baru 2 hari yang lalu” ucap Marsya. “Jejak apa itu?” tanya si gemuk Rico. “Iya aku ingat, ini adalah jejak roda Ratu kerajaan Majesty, aku melihat rodanya ketika aku di Museum yang umurnya lebih dari 800 tahun” Jelas Marsya yang penuh keyakinan. “Cekkrekkk!!! apa kau yakin? bisa saja itu hanya jejak hewan biasa” tanya Sam untuk jawaban yang lebih pasti sambil melihat hasil foto jejak itu di kameranya.
Louis mengusulkan untuk mengikuti jejak tersebut. Masih mengikuti ke mana arahnya jejak roda itu, mereka memasuki hutan belukar yang sangat gelap, pohon-pohon tua menjulang dengan tingginya, tidak ada sinar sedikitpun.
“Di mana Susan? Louis, Marsya, Rico langsung menengok ke arah Sam yang bertanya dimana Susan, “Ayolah Sam, kau sama sekali tidak lucu, ini bukan saatnya bercanda” Ucap Rico yang menyangkal bahwa ini hanyalah gurauan. “Sam, Susan berjalan bersamamu tadi” Ucap Marsya. “Untuk apa aku bercanda, tadi Susan memegang tanganku erat, tiba tiba ia melepaskan pegangannya dan ketika kulihat dia tidak ada” Jelas Sam. “Susan…!!! di mana kau” Teriak Marsya. “Aku tidak bisa melihat jejak apapun, di sini terlalu gelap” Ucap Marsya risau, tiba tiba Marsya menginjak benda keras, lalu Marsya mengambil benda tersebut “Ini sepatu Susan, lihat!! ini sepatu Susan” Sam, Louis, dan Rico mendekati Marsya “Susannnnnnnn!!!” teriak Louis “Kau tau Sam, a..kuu mencintainya, seharusnya kau menjaganya” Louis marah lalu memegang kerah baju Sam. “Cukup Lou, ini tak menyelesaikan apapun, kita tidak bisa menyalahkan Sam. Ini sudah terjadi, lagipula kau yang mengajak kami ke sini” Ucap Marsya. “Oh, kau menyesal ikut denganku, baiklah!!! jika kalian tidak mau membantuku, aku akan mencari Susan sendiri” Louis pergi dengan keadaan marah, meninggalkan teman temannya “Mar, Kata katamu telah menyinggungnya. Lou tunggu!!!” Rico lalu mengejar Louis.
“Ini memang salahku, harusnya aku menjaga Susah” sesal Sam. “Sam sudahlah, simpan kata katamu itu” Jawab Marsya. Marsya dan Sam tidak tau harus ke mana, mereka kehilangan 3 temannya, lalu Marsya dan Sam berjalan mengikuti arah perginya Louis dan Rico. Setelah berjalan, keluarlah mereka dari hutan nan gelap itu, hari pun ternyata sudah siang. Marsya dan Sam mendapati Louis dan Rico tengah duduk menangisi seseorang di hadapannya “Su….su…susan?” ucap Sam yang tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Susannnnn!!!” Marsya sangat histeris melihat sahabat karibnya susah putih memucat, terbujur kaku di pangkuan Louis. “Kami menemukan Susan sudah tidak bernyawa di sini, dan kami juga menemukan daun ini, daun ini memiliki tulisan, tapi kami tak mengerti tulisan apa ini” Jelas Rico. “Ini adalah tulisan kuno. ‘Sekarang kau hampir menemukan jawabannya Lou, tetap ikuti jejak yang kalian temukan kemarin’ ini untukmu Lou” Marsya menerjemahkan tulisan didaun yang ternyata ditujukan untuk Louis. “Jejak itu” Rico
Setelah menguburkan jasad Susan dengan layak, lalu kembali berjalan mengikut jejak roda kereta itu, raut keempatnya sangat sayu dan sangat terpukul atas kepergian salah satu teman mereka. “Tunggu!!! ke mana jejak itu? Aku tidak menemukannya” Ucap Sam, Marsya lalu menyelidiki keadaan di sekitar mereka, barangkali ada tanda untuk menuntun ke mana mereka kan melanjutkan perjalanan. Marsya melihat lumut aneh di sebuah pohon Ark, lalu Marsya melihat ke arah utara dimana lumut tersebut terletak.
“Teman-teman, lihat!!! Red Mountain” Ucap Marsya. Gunung itu ternyata sangat mirip dengan yang dilihat Louis di mimpinya. Akhirnya mereka sepakat berjalan menuju Red Mountain.
Sudah tiga hari mereka berjalan akhirnya sampai di bukit Red Mountain, sangat berbeda keadaan di tempat mereka berdiri sekarang, empat hari sebelumnya, mereka berjalan menjamahi hutan yang sangat sepi, jurang yang dalam, anak sungai yang amat deras. Kini mereka berdiri di bukit Red Mountai yang sangat indah, taman taman yang dipenuhi bunga dan tiba tiba “Kereta itu?” tunjuk Marsya yang mengarah ke barisan kereta-kereta yang sama dengan yang ia lihat di Musium, yang rodanya sama dengan jejak roda yang mereka temui beberapa hari yang lalu.
Mereka lalu berjalan ke arah kereta kereta itu, ternyata tak jauh dari situ, berdirilah gerbang tinggi yang di dalamnya istana sangat menyeramkan. Mereka memberanikan diri masuk keistana itu, setelah benar benar masuk, Terlihatlah sebuah singgasana yang diduduki seorang wanita yang terlihat menyeramkan, tak ada pengawal, anak buah atau apapun, ia hanya sendirian, “Sepertinya dia adalah Ratu di sini” Ucap Rico. Setelah membalikkan badan, alangkah terkejutnya Louis melihat siapa yang tengah berdiri itu “IBU!!?”
Cerpen Karangan: Yulia Yunara
Facebook: Yulia Yunara
Sumber:http://cerpenmu.com/cerpen-fantasi-fiksi/adventure.html

Contoh Teks Biografi
Biodata Farhan
Nama lengkap:Farhan Nadivan Kamal
Tempat/tanggal lahir:Kebumen/8 Januari 1999
Tempat tinggal:Pondok cibubur,depok,Jawa barat
  
Nama saya  adalah Farhan Nadivan Kamal.Saya lahir pada 27 Febuari 1999,Jakarta.Saya merupakan anak pertama dari dua bersaudara,adik saya bernama Muhammad Satria.Saya tinggal di perumahan Lembah Cibubur,Depok,Jawa Barat.Nama orang tua saya adalah Budi Budiman dan Annabelle.
  
         mengennyam pendidikan di Tk aliria kiwi,lalu melanjutkan pendidikan di SDN curug 5,dan SMPN 11.Saya merupakan siswa yang baik dalam mengikuti pembelajaran dalam sekolah.Saya mengerjakan tugas dengan tepat waktu, dan mematuhi peraturan sekolah.

Yakin Aja Sama Allah

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 5 January 2018

Bagai Vampire yang haus darah, di usiaku yang genap delapan belas tahun ini, aku sangat haus akan ilmu. Terutama ilmu keagamaan. Aku bukan orang yang mudah percaya begitu saja dengan ucapan para pemuka agama yang belakangan ini sering kudengar. Kudatangi setiap ada majelis ilmu. Siapapun pembicaranya, dan apapun materinya, selagi itu menyangkut tentang keagamaan, maka akan kudatangi. Selagi itu tidak mengganggu jadwal sekolahku. Biasanya selalu hari sabtu atau minggu.
Bukan tanpa sebab aku ingin menggali agama yang kuanut ini lebih dalam. Ada suatu kejadian yang membuatku sampai kehilangan semangat hidup. Hidup tapi terasa mati. Tak punya arah tujuan. Di sisi lain aku bersyukur diberikan pelajaran menyedihkan itu. Apa mau dikata. Kejadian itu adalah titik balik kehidupanku. Sebuah awal baru. Aku memutuskan untuk meninggalkan kenangan buruk itu dan menjadikannya pelajaran. Kuputuskan untuk lebih dekat pada-Nya. Ya. Inilah pilihanku. Aku tahu setelah memilih jalan ini, rintangan besar sudah siap menghadangku di depan sana. Bahkan mungkin lebih berat dari rintangan-rintangan hidup seperti biasanya. Semuanya harus kuhadapi demi meraih predikat tertinggi. Yaitu taqwa.
Hari ini sepertinya aku akan dapat ilmu baru. Di sekolahku akan diadakan acara “KAMUS”. Singkatan dari kajian muslim yang diselenggarakan oleh ekstra kurikuler rohani isalm (ROHIS). Pembicaranya adalah alumni sekolahku yang lulus lima tahun lalu. Kumbang yang mengajakku untuk mengikuti kajian itu. Kumbang adalah salah satu anggota Rohis dan juga teman sebangkuku di kelas selama dua tahun terakhir. By the way namaku Rifan. Siswa kelas dua belas Sekolah Menengah Kejuruan di ibu kota Negara ini.
“ikut Kajian Muslim yuk, Fan!”. Kumbang mengjakku.
Entah kenapa aku tidak bisa menolak ajakan Kumbang untuk mengikuti “KAMUS”. Aku tidak bisa berkata apa-apa saat Kumbang mengajakku. Seluruh tubuhku seakan telah diambil alih oleh hati kecilku. Aku hanya menganggukan kepala. Menandakan jawaban “ya”.
Aku pun mengikuti Kajian Muslim. Acara berlangsung selama satu jam. Setelah mengikuti Kajian Muslim, ada beberapa kata dari mulut pembicara yang kuingat, diantaranya “barang siapa yang berusaha menuntut ilmu akan dimudahkan baginya jalan menuju surga”. Belakangan kuketahui itu adalah salah satu hadits. Kalimat itu mengaung di dalam kepalaku. Ibarat gema yang terus memantul. Tak apa lah. Selagi itu ilmu, aku suka. Sang pembicara menambahkan tidak hanya dimudahkan jalannya menuju surga tapi juga akan dimudahkan jalannya untuk terus menuntut ilmu di dunia.
“berarti seluruh siswa-siswi di sini akan mudah menuju surga ya?”. Tanyaku ke Kumbang.
“yap, betul sekali”. Jawab Kumbang.
“oh iya hari Minggu ini ada kajian di Masjid pusat kota. Ke sana yuk, Fan!”. Kumbang menajakku ikut kajian lagi. Tanpa pikir panjang, aku langsung meng iya kan ajakannya. Kajian Kali ini lebih besar dengan penceramah yang sudah tidak asing lagi. Yang terpenting kajian yang satu ini terbuka untuk umum. Alias gratis.
Hari Minggu yang dinantipun tiba. Aku menghubungi Kumbang untuk menentukan lokasi pertemuan kami. Saat ingin berangkat, dan menyalakan sepeda motor, ternyata bahan bakar motorku hampir habis. Aku bingung. Uang di dompetku tak cukup untuk mengisi bahan bakar. Berpikir sejenak. Tujuanku ke sana adalah untuk mencari ilmu dan ridha-Nya. Tujuanku adalah rumah-Nya. Semoga perjalananku dimudahkan oleh-Nya.
Dengan keyakinan yang ada. Dengan sisa bahan bakar yang ada. Aku berangkat menemui kumbang di lokasi yang sudah kami tentukan sebelumnya. Memang, jarak dari rumahku ke lokasi pertemuan kami cukup jauh. Belum lagi ke lokasi kajian. Kumbang tidak tahu akan hal ini. Di perjalanan aku sudah membayangkan pasti akan mendorong motorku karena kehabisan bahan bakar. Ah sudahlah. Aku bertemu Kumbang di lokasi yang sudah kami sepakati. Kami langsung menuju lokasi kajian. Sampai di lokasi kajian, aku dan Kumbang bersuci terlebih dahulu kemudian mamasuki masjid. Ramai sekali di dalam sini. Tidak seperti kajian muslim di sekolahku waktu itu. Hadirin yang datang didominasi bapak-bapak. Remaja hanya sedikit yang hadir.
Kajian itu berlangsung selama kurang lebih dua jam. Banyak ilmu yang kudapat. Alhamdulillah. Terhitung sebanyak lima halaman buku catatanku terisi penuh. Aku sengaja membawa buku catatan kecil untuk mencatat apa-apa yang penting. Menurutku, ilmu itu seperti binatang buas yang jika tidak ditangkap akan mudah lepas. Jika hanya didengar saja maka ilmu akan cepat terlupakan.
Lumayan juga hasil buruan ilmuku hari ini. dapat lima halaman. Kajian selesai beberapa menit sebelum adzan Dzuhur. Dilanjutkan dengan sholat Dzuhur berjama’ah, kemudian pulang. Aku sedikit bingung saat hendak pulang, karena entah masih cukup atau tidak bahan bakar yang tersisa di motorku untuk perjalanan pulang. Rupanya ekspresi bingungku mencurigakan bagi Kumbang.
“ada apa, Fan?”.
“Faaan…?”. Kumbang kembali bertanya.
“… oh tidak ada apa-apa kok hehe. Aku sedikit melamun tadi”. Aku tidak mau Kumbang tahu soal bahan bakar motorku yang tinggal sangat sedikit ini. kami pun berangkat pulang. Sebelumnya aku harus mengantarkan Kumbang pulang dulu.
Belum ada setengah perjalanan menuju kediaman Kumbang, hal yang kutakutkan terjadi. Motorku mogok karena kehabisan bahan bakar. Sial. Ditambah lagi tidak ada SPBU dan penjual bahan bakar eceran di sekitar sini.
“kenapa motormu, Fan?. Bensinnya habis?”. Kumbang bertanya padaku.
“hmm… sepertinya begitu”. Aku pura-pura tidak tahu.
Mau tidak mau harus kudorong motorku ini ke SPBU yang sepertinya masih jauh. Sekitar tiga menit aku mendorong motor, Kumbang menawarkan diri gantian mendorong motor. Aku menolaknya dengan alasan masih kuat. Tak lama kemudian, datang seorang pengendara motor menghampiri kami. Seorang laki-laki, mengenakan helm dengan kaca kaca hitam gelap. Motornya bagus, stelan busananya rapi. Seperti pagawai kantor atau semacamnya.
“motormu kenapa, dik?”. Laki-laki itu bertanya.
“bahan bakarnya habis”. Jawabku.
“SPBU masih jauh ya?”. Kumbang bertanya pada laki-laki itu.
“iya, masih jauh, dik”. jawab laki-laki itu.
Laki-laki itu berbicara tanpa membuka kaca helm nya yang berwarna hitam gelap. Aku sampai tidak bisa melihat wajahnya. Awalnya aku curiga, tapi karena orang ini berniat ingin membantu, aku berusaha membuang prasangka buruk ini. laki-laki ini bersedia mendorong motorku dengan kaki sambil mengendarai sepeda motornya. Kumbang dibonceng laki-laki itu di belakangnya. Beliau sangat baik. Kuat pula. Ia tetap mendorong motorku dengan kakinya meski melewati beberapa jalur menanjak.
Akhirnya kami tiba di SPBU, dan berhenti disana. Tak hanya membantu mendorong motorku sampai ke SPBU, laki-laki itu juga membelikan motorku bahan bakar dengan uangnya. Ya ampun sungguh baik laki-laki ini. Beliau seperti sudah tahu kalau uangku tidak cukup untuk membeli bahan bakar. Sampai terakhir aku berterimakasih padanya, beliau tetap tidak membuka kaca helmnya yang berwarna hi
Setelah mengantarkan Kumbang pulang ke rumahnya, aku melanjutkan perjalanan pulang. Selama di perjalanan, aku masih memikirkan kejadian yang baru kualami. Sebenarnya siapa laki-laki itu?. Aku sangat berhutang padanya. Meskipun aku tidak mengenalnya, semoga Tuhan membalas kebaikannya dengan surga. Tapi siapakah dia?. Yang tidak pernah membuka keca helmnya yang berwarna hitam. Siapa dia?. Yang suaranya halus tapi terdengar jelas di telingaku saat itu. Di pinggir jalan yang berisik. Mungkin inilah yang dimaksud sang pembicara kamus beberapa waktu lalu, bahwa tidak hanya akan dimudahkan jalannya untuk menuju surga, tapi juga akan dimudahkan jalannya untuk terus mencari ilmu di dunia.
Cerpen Karangan: Robby C.A.
Facebook: Robby Chairultam gelap itu. Biaralah. Yang penting aku tertolong.
Sumber:http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/yakin-aja-sama-allah.html

Contoh Teks Ceritan Ulang Biografi

-Ilham nuryanto lahir pada 10 Desember 1998 di Jakarta,Indonesia,ibu kandungnya bernama Nunun Saadah dan ayah kandungya bernama edi Budyanto.Ia merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara dan biasa dipanggil ilham/yanto.

-Ia pernah tinggal disukabumi Jawa Barat pada umur 2 tahun ia pindah kedepok dan sekarang menetap bersama orang tuanya di dewpok timur.Ayahnya bekerja sebagai PNS dibekasi.

-ia pernah bersekolah di SDN mekarjaya 2,dan lulus pada tahun 2011.setelah itu melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi yaitu SMPN 7 depok dan lulus pada tahun 2014.dan saat ini ia bersekolah di SMAN 2 Depok sampai saat ini.

Si Pendiam

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 25 December 2017


Allahu akbar allahu akbar…
Suara azan maghrib telah berkumandang. Huffh… penat sekali rasanya menahan ini semua. Menahan dari rasa lapar, haus dan godaan-godaan lainnya yang dilarang oleh agama. Gluk… glukk… gluk…
Aduh nikmat tuhan yang manakah yang harus aku dustakan. Air kelapa ini sangat nikmat. Mengalir begitu saja kekerongkonganku. Dingin dan basah rasanya. Setelah lebih 10 jam menunggu waktu berbuka akhirnya terwujud juga.
“Alif, ayo makan dulu. Nanti keburu dingin nasinya.” seru Ibu dari dapur.
“Iya Bu sebentar lagi”, balasku.
“Ayo sekarang!” perintah Ibu
“Iya Bu.” datang menghampiri Ibu di dapur.
Makan malam kali ini hanya ada aku, Ibu dan si kecil Dimas. Hanya kami bertiga di rumah tua ini. Rumah yang bersanggah bambu ini merupakan rumah yang begitu sederhana. Segala sesuatu di rumah ini bernilai sederhana tidak ada yang terlalu berharga. Namun kenangan manis di rumah inilah yang begitu berharga.
Bapak. Kami tidak dapat makan dengan Bapak. Keadaan ini berbeda ketika ramadhan tahun lalu. Dimana suasana makan malam dan berbuka puasa terasa menyenangkan karena kehadiran Bapak. Setiap sore Bapak akan pulang dengan terburu-buru agar tidak terlambat berbuka puasa bersama kami.
Terlihat peluh keringatnya bercucuran, karena ia mengejar waktu sambil sedikit cepat mengendari sepeda reotnya.
“Assalamualaikum Bapak pulang!”, serunya keras
“Bapak!!!”, aku dan Dimas pasti sudah berlari terburu-buru akan mencium tangan Bapak. Kemudian diikuti dengan Ibu.
“Hayoo puasa hari ini penuh tidak Alif, Dimas?”, selidik bapak.
“Penuh dong pak”, jawab kami serentak.
“Alhamdulilah anak Bapak hebat”
Senyum mengembang padaku dan Dimas atas pujian Bapak.
Setelah itu kami akan bersantap malam bersama. Bercerita tentang apapun. Bapak menceritakan perkembangan sawah dan padinya. Ibu menceritakan hasil jualannya hari itu. Aku dan Dimas akan menceritakan tentang betapa kuatnya kami menahan lapar dan haus walaupun banyak sekali yang menggoda kami.
Setelah itu kami akan bersama-sama berangkat menuju surau untuk menunaikan ibadah sholat isya kemudian dilanjut dengan tarawih.
Namun ramadahan tahun ini berbeda. Tidak ada lagi suasana seperti itu. Semua berbeda, ada tempat kosong ketika kami sedang bersantap malam. Satu kursi kosong, dimana dulu bapaklah yang duduk di kursi itu. Tidak ada lagi lari terburu-buru untuk mencium tangan Bapak. Tidak ada lagi cerita di atas meja makan sederhana ini. Tidak ada lagi, semua telah berbeda.
Semenjak kematian Bapak tahun lalu akibat kecelakan itu, yang mengakibatkan seseorang harus meregang nyawa. Dan orang itu adalah Bapak. Bapak kami satu-satunya yang kami miliki. Penopang keluarga kami. Pencari nafkah keluarga kami. Bapak kami adalah segala-galanya bagi kami.
Semenjak itu keadaan berubah. Ibu harus bekerja ekstra. Mulai pagi pukul 2 pagi sudah harus bangun untuk berangakat ke pasar. Kemudian baru pulang sore hari. Dan malamnya harus mempersiapkan dagangannya untuk esok paginya.
Terkadang aku merasa begitu sedih dengan keadaan ini semua. Melihat Ibu banting tulang untukku dan Dimas. Setiap aku menyarankan kepada Ibu agar putus sekolah saja dan membantunya berdagang. Ibu selalu marah.
“Tidak Alif! Apa yang kau katakan? Kau harus tetap sekolah. Apapun yang terjadi. Biar Ibu yang mengurus semuanya. Tugasmu hanya satu nak. Sekolahlah yang baik. Agar kamu dapat menjadi panutan bagi adikmu Dimas nanti”, kata Ibu padaku kala itu.
Aku hanya mampu menurut saja. Namun aku tetap kepikiran dengan Ibu. Akhirnya setiap pulang sekolah aku rajin berada di lampu bangjo menjajakkan koran. Setiap hari aku lakukan, setiap pulang sekolah. Bagaimanapun aku tetap harus membantu Ibu.
Begitu pula dengan Dimas. Ibu akan membuat jajanan pasar. Kemudian Dimas akan membawanya ke sekolah dan menitipkan ke kantin sekolah. Kami sekelurga akan banting tulang untuk tetap hidup. Karena itulah didikan Bapak dan Ibu selama ini.
Setelah berbuka puasa Aku dan Dimas berangkat menuju surau. Ibu tidak ikut, Ibu memilih menjaga di rumah dan bersih-bersih rumah. Setelah sholat isya dan tarawih biasanya anak-anak desa kami akan bermain sebentar. Kami gemar sekali bermain lempar sandal. Dimana nanti sandal akan ditumpuk tinggi-tinggi. Kemudian satu persatu anak akan melemparnya. Jika tumbukkan itu terjatuh maka kelompok yang menang akan lari dan kelompok yang kalah juga berlari namun sambil berusaha menangkap kelompok yang menang.
Permainan ini sangat seru. Tidak bosan-bosan aku bermainnya. Belum lagi jika anggota yang bermain banyak, akan tambah seru lagi. Ketika bermain ada salah satu anak yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Kata Deny salah satu temanku, anak itu pindahan dari desa sebelah. Ia tinggal bersama dengan simbahnya tidak jauh dari surau. Oh begitu pikirku. Namun sepertinya ia tidak banyak bicara, aku lebih sering melihatnya terdiam, duduk, sendirian dan jauh dari kerumunan.
“Hey… kau Dika kan? Aku Alif.” Sapaku sambil mengulurkan tangan.
“Ha..hay i..iya aku Dika.” Balasnya menjabat tanganku dengan gerakan patah-patah dan gugup.
“Ayo main! Kau pasti senang.” Ajakku.
“Tidak usah, aku tidak mahir permainan itu. Lebih baik aku melihat saja.” Katanya sambil gugup
“Hey, kau tidak perlu otak dalam permainan ini. Kau hanya perlu lari saja dan tahu mana kawan dan lawan.” Jawabku mantap sambil menarik tangannya.
Sebelum ia menolak aku sudah memotong bicaranya dan menariknya dalam permainan.
“Hey teman-teman semua. Kita ketambahan satu orang lagi tidak apa-apa kan. Semakin banyak anggota akan semakin seru bukan?” Tanyaku pada yang lain.
“Baik Lif tidak apa-apa. Dia masuk kelompok mana” Tanya Tono.
“Kelompokku saja, sekalian sambil aku jelaskan permainan ini padanya. Bagaimana semua?”
“Baiklah setuju.“ Kata Shidiq.
Permainan dimulai, terlihat sekali jika Dika begitu gugup. Aku berani jamin, pasti ini kali pertamanya ia bermain dengan banyak orang. Aku belum tahu apa-apa tentang anak ini. Namun aku akan mencari tahu itu semua. Mengapa ia begitu pendiam. Suka sekali sendirian. Tidak suka dengan kerumunan banyak orang. Padahal usia 10 tahun seperti aku dan teman-teman yang lain merupakan umur yang paling meyenangkan untuk dibuat bermain betul tidak?.
“Ngos… ngos… aduh aku lelah sekali rasanya seperti baru keliling kampung 10 kali. Kejaran faris memang maut.” Kataku terengah-engah. “Bagaimana, kau juga sudah lelah Dik?” Tanyaku
Terlihat peluh keringat di dahinya. Dan napas terengah-engah sama sepertiku. Sepertinya ia habis berolahraga. Namun anehnya ia tersenyum padaku. Terlihat wajahnya yang tadi suram mulai terlihat terang. Aku tidak tahu bahwa permainan kami ini akan mengubah cahaya di wajahnya itu. Cahaya wajah yang tadinya seperti memiliki beban yang berat, namun sekarang lebih membaik.
“Besok kau harus ikut lagi Dik. Masih banyak permainan anak kampung sini yang lebih menyenangkan. Kau tunggu saja besok ya.” Kataku sambil tersenyum
Ia pun membalasnya dengan tersenyum pula.
Hari semakin larut maka satu persatu anak mulai pulang. Takut jika tiba-tiba salah satu ibu mereka datang dan mengomel serta menarik kuping mereka karena terlambat pulang. Aku pun juga demikian Ibu pasti akan mencari-cari jika aku pulang terlalu larut. Maka kami putuskan untuk mengakhiri permainan dan berlanjut esoknya
“Sampai jumpa Dik. Jangan lupa datang ya.” Dadahku sambil menggandeng Dimas
Ia balas melambai sambil tersenyum.
Sengatan matahari begitu terasa di kepala. Matahari bagai hanya beberapa senti saja dari kepalaku. Ditambah dengan angin panas yang tidak bosan-bosanya bertiup. Tanah gersang dan kering desa kami ini memang ciri khasnya. Rasanya ingin segera pulang aku. Seandainya Ibu tidak menyuruhku pergi mengantar pesanan Mak cik aku tidak akan mau berangkat panas-panas seperti. Belum lagi aku sedang berpuasa. Aduhh lengkap sudah semuanya.
Ketika sedang berjalan aku melihat bayangan yang tak asing bagiku. Siapa dia? Dika bukankah itu Dika. Mau pergi ke mana ia? Diam-diam aku membuntutinya sambil berjalan. Selang beberapa saat tibalah ia di suatu tempat. Dengan aku pastinya.
“Ia pergi ke kuburan? Apa yang akan ia lakukan?” Gumamku dalam hati.
Ia berjalan tenang, melewati kuburan-kuburan lain seolah-olah ia sudah sangat hafal dengan tempat itu. Sepertinya ia kerap datang ke tempat ini. Kemudian aku mengamatinya dari jauh. Dan tibalah ia dikuburan yang akan ia pilih. Ia duduk di pinggirnya. Mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh subur diatasnya. Menyiram kuburan gersang itu dengan air. Memberi sekuntum mawar merah yang indah ditengah-tengah nisan kuburan tersebut. Serta mengecup kedua nisan tersebut.
Aku hanya mampu melihat dari kejauhan dan terdiam tidak mengerti. Lalu tiba-tiba ia menangis. Pelan… pelan… kemudian isak tangisnya semakin keras. Semakin keras namun tertahan. Sampai bergetar badannya karena ia menahan tangis itu. Sepertinya ia sudah lama memendam tangisan tersebut. Kemudian ia mengajak kedua nisan itu bercakap-cakap
“Sekarang Dika sudah punya teman. Teman Dika baik-baik semua. Tidak ada yang jahat pada Dika seperti dulu. Dika tidak menyangka Dika dapat beradaptasi di sini. Awalnya dika takut sekali Dika akan seperti dulu. Dika selalu saja diejek, dihina, dan direndahkan oleh banyak orang. Namun sekarang tidak! Dika ingin berubah, Dika tidak ingin dilihat sebelah mata lagi. Dika berjanji. Dika berjanji demi bapak dan ibu.”
Deg! Aku kaget setengah mati sekaligus menahan airmataku. Tidak tahu mengapa aku merasa sangat sedih mendengar ucapan Dika barusan. Ucapan tulus anak seumuranku yang ia ucapkan sendiri di kuburan. Ucapan tulus dari lubuk hatinya terdalam. Untuk orangtuanya tersayang.
Tanpa kusadari airmataku mengalir begitu saja. Bahkan semakin lama semakin deras alirannya. Aku merasa sedih, bahkan sangat sedih. Aku tidak dapat membayangkan kehidupannya tanpa kedua orangtuannya. Hidup hanya dengan simbahnya saja. Belum lagi keadaan ekonomi yang begitu pas-pasan sama denganku.
Aku merasa malu sendiri saat itu. Seharusnya aku bersyukur aku masih memiliki Ibu di rumah. Yang selalu sayang padaku dan Dimas. Yang mau banting tulang menggantikan Bapak. Namun aku masih saja mengungkit-ngungkit keadaan ketika Bapak masih hidup. Bahwa dulu ketika Bapak masih hidup semua berjalan dengan baik. Padahal sekarang walaupun Bapak telah tiada namun Ibu dengan gigihnya menggantikan peran Bapak. Sehingga kehidupanku tetap berjalan dengan baik pula.
Rasanya aku ingin segera pulang dan mencium tangan Ibu. Ya Allah maafkan Alif Ya Allah maaf. Aku ingin pulang segera dan menemui Ibu. Mengatakan bahwa aku sangat mencintai Ibu apapun yang terjadi. Aku akan membuat Ibu bangga akan diriku. Aku tidak akan membuat Ibu kecewa. Aku akan lakukan apapun yang diperintahkan Ibu. Tidak ada lagi bantah membantah.
Kemudian beberapa menit Dika terdiam dan akhirnya pergi pamit dari kuburan ayah dan ibunya serta tak lupa mengecup nisannya. Aku menemuinya di luar kuburan.
“Dik?” Sapaku
“Eh Lif? Apa yang kau lakukan di sini.” Jawabnya sedikit kaget sambil mengusap mata yang masih tersisa bulir-bulir tangisannya tadi.
“Maaf tadi aku melihat kau jalan sendirian. Dan akhirnya memutuskan untuk membuntuti kau hingga akhirnya ke sini. Aku mengerti sekarang mengapa kau begitu pendiam, tidak suka dengan kerumunan dan lebih baik sendirian.”
Ia hanya menunduk sambil menyimakku
“Maafkan aku soal orangtuamu Dik. Andai aku tahu dari awal tidak mungkin semalam aku langsung mengajak kau bermain padahal aku tidak tahu apa isi hati kau ketika itu. Aku tidak tahu bahwa kau barusan kehilangan kedua orang yang begitu kau sayangi.” Kataku menyesal.
“Tidak Lif, seharusnya aku berterima kasih padamu. Jika kau tidak mengajakku bermain malam itu mungkin sekarang aku akan tetap menjadi Dika yang pendiam. Atau bahkan lebih buruk lagi. Terima kasih Lif, kau sudah mau menjadi teman baruku di desa ini.”
“Sama-sama Dik. Dan dengan adanya diri kau aku menjadi mengerti apa arti rasa syukur. Aku selalu merasa bahwa hidupku inilah yang paling susah. Namun kenyataannya masih banyak orang tidak seberuntung seperti diriku. Dan aku juga merasa sangat senang dapat menjadi temanmu.”
“Ayo kita pulang.” Ajak Dika.
Aku mengangguk mengiyakan.
Di perjalanan menuju rumah tidak henti-hentinya mereka bercakap-cakap. Saling membuka diri. Dika menceritakan mengapa ia pindah ke desa ini. Bagaimana kedua orangtuanya dapat meninggal yang ternyata sama akibatnya seperti kematian Bapak Alif.
Setidaknya aku beruntung memiliki teman baru berjiwa tegar ini. Agar aku pun belajar untuk tegar juga. Lebih mengerti arti kehidupan dan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Dengan lebih banyak bersyukur dan saling mengasihani kepada sesama. Seperti yang diajarkan Dika padaku.
Tamat.
Sumber:Cerpen Karangan: Sekar Jatiningrum
Blog: sekarjatiningrum.blogspot.com
Pantun Jenaka

Jalan-jalan kedepok
Nemuin uang segepok
ada apa dibalik tembok
Ada nenek lagi cebok

Jalan-jalan kepasar baru
Jangan lupa beli kain biru
Kalau kamu Cinta padaku
Katakanlah i love you

Syair Nasihat

Awan kelam membawa kegelapan
Seribu maaf doa penyesalan
Sesak nafas tersendu menawan
Temukan sebuah jawaban
   
Awan belum juga mau tersenyum
    Akan keterangan kebahagiaan
    Datang terlambat waktu penyesalan
    Baru bisa bertaubat

Hapuslah kawan dari dunia penyesalan
Jangan kau rundungi dirimu dengan penyesalan
Bentengilah oleh iman
Temukan didalam kalbumu kawan

Singkirakan semua keputus asaan
Kita masih mampu
Kita bersandar kepada Tuhan
Jangan menyerah





Jomblo Bahagia

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 6 January 2018


“Hai, Sha!” sapa seorang cewek yang dengan seenaknya menjitak kepalaku lalu duduk di sampingku dengan senyum lebar. Aku meringis kesakitan sambil memegang kepalaku, lalu menatapnya dengan tatapan sinis.
“Wihhh… tatapan kamu itu lho, Sha. Kayak ada manis-manisnya gitu.” Ucap cewek itu masih dengan senyum lebarnya.
“Masih Pagi, Tara. Kalau mau berantem, entar aja deh. Nggak ada waktu aku.”
“Eh, jangan marah dulu, Sashaku yang cantik. Aku punya kabar gembira untukmu. Kamu kenal sama Dito, kan? Itu lho, Sha, si Dito anak kelas XI IPS 2. Ternyata dia itu suka sama kamu. Cieee… selamat ya, Sha, kamu bakal dapat pacar lagi, nih!” Kata cewek itu sambil tertawa kecil.
Pacar? What? Untuk ke sekian kalinya aku dicomblangin oleh cewek aneh ini. Tara, cewek aneh yang sejak dulu selalu memaksaku untuk pacaran walau sebenarnya aku selalu menolak.
Bagiku, pacaran itu nggak penting. Hanya buang-buang waktu saja. Mending di rumah, mengurung diri di kamar tercinta sambil baca novel atau dengar musik dan chattingan sama sahabat. Itu sedikit lebih berguna daripada pacaran. Ah, tapi Tara tau apa soal jomblo? Cewek itu kan nggak pernah merasakan jomblo. dia selalu gonta-ganti pacar setiap 3 bulan. Aneh!
“Nggak deh, Ra. Buat kamu aja tuh si Dito. Aku nggak butuh pacar. Males!” Ucapku datar. Dan sudah bisa kuduga apa yang akan Tara lakukan selanjutnya. Dia pasti akan memaksaku.
“Aduh, Sasha… ketinggalan zaman banget sih kamu! pacaran itu penting buat anak remaja kayak kita. Kalau bukan dengan pacaran, dengan apa lagi dong kita bisa bahagia? Nggak ada, kan? Kok kamu nyaman banget ya jadi jomblo. Jomblo itu tertindas. Selalu sendiri dan merasa kesepian. Aku yakin kamu pasti nggak bahagia.” Tebak Tara dengan mata berbinar-binar, seolah tebakannya benar.

“Siapa bilang jomblo itu selalu tertindas? Siapa bilang jomblo selalu sendiri dan kesepian? Siapa bilang aku nggak bahagia? Pertanyaan aneh. Aku nggak merasa tertindas, kesepian, apalagi sendiri. Dan aku tetap bahagia walaupun tanpa pacar. Jadi kamu nggak usah paksa aku untuk pacaran.”
“Ih ya udah! Terserah kamu, deh. Dasar kuper!” Tara Sebal.
“Terserah kamu mau bilang apa. yang jelas aku akan tetap pada statusku. Jomblo. Jomblo bahagia, mennn.” Ucapku sambil mengedipkan mataku. Tara langsung berdiri begitu saja dan meninggalkanku tanpa sepatah kata pun.
Ah, biarin. Entah kenapa Tara selalu memaksaku untuk pacaran. Apa untungnya, sih? Nggak penting banget.
Aku kembali fokus pada kegiatanku yang sempat tertunda tadi. Baca novel favorit sambil dengar musik lewat earphone. Menyenangkan. Tanpa ada gangguan dari makhluk yang bernama pacar.
Seandainya Tara tau kalau jomblo itu sangat membahagiakan… Huh! Biarin ajalah. Mungkin dia pengen merasakan sakitnya pacaran.
Tiga hari semenjak kejadian kemarin Tara meneleponku dengan suara serak.
“Aku diputusin Rega, Sha. Ternyata dia punya pacar lain selain aku. Padahal aku sayang banget sama dia. Tapi kok dia tega, sih?” Begitu curhat Tara yang dia ceritakan sambil menangis. Aku jadi kasihan. Ingin memeluknya tapi kita berjauhan. Aku memutuskan untuk memeluknya dengan nasihatku. Dengan harapan bisa menghiburnya.
Tapi dia masih saja membantah.
“Aku nggak mau jomblo, Sha. Jomblo itu nggak bahagia.”
“Kamu dengar dari siapa sih itu? Mitos tuh. Buktinya aku bahagia. Kamu tahu nggak untungnya jadi jomblo? Pertama, kamu bisa bebas ngapain aja dan kemana aja tanpa ada gangguan dari pacar. Kedua, kamu bisa lebih serius belajar. Ketiga, kamu bebas bergaul dengam siapa aja. Dan keempat, hubungan kamu sama Tuhan, keluarga, dan sahabat akan semakin dekat.” Jelasku panjang lebar. Mulutku sampai berbusa-busa dibuatnya.
Eh, tapi buat apa jelasin ini? Toh Tara nggak akan mau juga jadi jomblo. Dan pasti dia akan membantahku. Tapi aku langsung terkejut mendengar tanggapan Tara. Sungguh benar-benar diluar dugaanku.
“Hmmm… kamu benar, Sha. Selama ini aku lebih sering sama Rega. Sampai-sampai aku lupa akan kewajibanku.” Sesal Tara.
“Jadi gimana selanjutnya?” Aku mencoba bertanya meski jawabannya bisa ku tebak.
“Aku akan jadi seperti kamu.”
“Maksud kamu?” Sekali lagi aku memberikan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu kuberikan. Aku sudah mengerti maksudnya. Hanya saja aku ingin Tara mengucapkannya dari mulutnya sendiri.
“Aku nggak mau pacaran lagi. Aku akan jadi kayak kamu. Jomblo.” Ucap Tara mantap.
“Yakin??” Godaku sekali lagi.
“Iya dong. Yakin 100 persen.”
“Nah, gitu dong. Dari dulu kek. Aku yakin, hidup kamu akan lebih bahagia lagi setelah kamu nggak pacaran.” Ucapku sambil tersenyum lebar walau sebenarnya Tara tidak melihat senyumku. Eits, aku tersenyum bukan ingin dilihat Tara kok.
Aku tersenyum karena bisa membuat Tara mengerti kalau jomblo itu nggak tertindas. Jomblo nggak selalu merasa kesepian. Dan jomblo nggak pernah sendiri. Jomblo itu menyenangkan.
So Guys, jangan pernah malu jadi jomblo. Karena hidup ini nggak selamanya tentang pacar. Salam, Jomblo Bahagia.

Sumber:http://cerpenmu.com/cerpen-remaja/jomblo-bahagia.html

Contoh teks Eksplanasi Bahasa Indonesia


LUMPUR LAPINDO

   Lumpur lapindo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas dilokasi pengeboran.Perusahaan-perusahaan yang bersangkut paut mengenai migas adalah pelaku yang dapat menyebabkan lumpur panas lapindo bila mereka suatu saat salah memperhitungkan atau memperkirakan keberadaan sumber daya alam (SDA) yang mereka cari.

   Niatnya mencari harta,yang didapat malah mala petaka,sama halnya dengan perusahaan yang mencari sumber minyak bumi yang didapat lumpur panas lapindo hingga menyebabka beberapa desa terendam oleh panasnya lumpur lapindo

   “ayo bu! Kita segera mengungsi dari desa ini,karena desa ini diperkirakan akan segera terendam dalam waktu 1 jam saja”

“Apa?!?benarkah itu?,gawat-gawat ayo nak!”

“iya bu,saya akan menyiapkan barang-barang berharga untuk ikut di evakuasi”

Adi dan keluarganya segera mengungsi dan menjauhi desanya yang sudah mulai terendam sekaligus terebus oleh panasnya lumpur dari perut bumi.

   Ternyata usaha penanggulangan lumpur panas tidak berhasil sehingga hanya ada satu solusi yaitu mengalirkan lumpur kelaut untuk menghindari tergenaangnya daerah lain.akhirnya adi& keluarga memutuskna untuk pindah dari sidoarjo dan tinggal dikawasan yang lebih aman.